Thursday, August 15, 2013

Cara 'waras' menjadi pengusaha

Dilihat dari kronologinya minimal ada  4 jenis pengusaha.  Pertama, pengusaha warisan.  Kedua, pengusaha kebetulan. Ketiga, pengusaha bakat.  Keempat, pengusaha intelek.  Sebelumnya pernah ada wacana pengusaha kelima, yakni pengusaha 'gila'.   Namun jargon ''cara gila'' ini ternyata masih ditataran positioning bombastis di benak audience saja, belum menyentuh aspek diferensiasi konteks dan konten yang sesungguhnya; strong, unique dan favorable yang tidak ''over promise, under deliver''.   Dan benar saja, ''ide gila'' ini ternyata ibarat senjata makan tuan, karena sang penggagasnya barus saja mengalami kebangkrutan.    Jadi daripada menularkan jiwa kebangkrutan kepada para calon pengusaha, mendingan kita hapus saja jenis pengusaha yang kelima ini.

Mari kita bahas satu persatu.  Pertama, pengusaha warisan.  Ini cara paling gampang dan paling instan  menjadi pengusaha.  Sekaligus mungkin yang paling aman juga.  Paling gampang karena tidak usah repot-repot memikirkan dan membangun usaha dari nol.  Cukup modal disayang oleh Ortu, punya keinginan yang kuat, maka jadilah pengusaha.  Semuanya sudah tersedia karena langsung diwariskan dari orang tuanya.  Diluar infrastruktur modal dan produk, biasanya pengusaha tipe ini mengandalkan 'learning by doing' dalam menjalankan usahanya.  Orang tua mereka disampingkan mewariskan bisnisnya, juga sekaligus menjadi tutor yang handal bagi para pewaris bisnisnya dalam melanjutkan usahanya.


Pengusaha tipe kedua, pengusaha kebetulan.  Kebetulan karena iseng atau hobi.  Iseng-iseng dan coba-coba jualan produk lalu ketemu 'takdir' maka jadilah.  Tidak sedikit pengusaha yang sukses karena berawal dari kebetulan.  Namun biasanya disamping faktor kebetulan, mereka juga sukses dari ketekunan, kreatif,  pantang menyerah, dan selalu mencoba-coba terus walaupun sering gagal.  Sampai akhirnya bertemu dengan 'takdir' terbaik buah dari keberuntungan, ketekunan, kreatifitas, jaringan dan lain-lain.  Namun banyak pengusaha tipe ini ketika sukses lalu jadi lupa daratan dan larut dalam euforia keberhasilannya.


Pengusaha tipe ketiga, pengusaha bakat.  Pengusaha bakat biasanya sangat mengandalkan ''intuisi'' di dalam memulai dan menjalankan bisnisnya.  Insting nya sangat tajam dalam mengendus berbagai peluang bisnis.  Mereka biasanya sangat cepat menangkap peluang ketika orang lain masing belum menyadarinya.  Mereka memiliki kecerdasan bisnis bawaan dan menjalankan bisnis dengan hatinya.  Ketika sukses biasanya mereka tidak cepet puas dan terlena lalu berfoya-foya.  Mereka akan terus berkarya, mencari peluang-peluang baru karena jiwa mereka selalu mencari adrenalin yang menantang.

Pengusaha tipe keempat, pengusaha intelek.  Disebut intelek karena mereka umumnya memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik tentang dunia bisnis dan marketing.  Mereka memiliki DNA pembelajar.  Mereka selalu haus mencari ilmu-ilmu baru tentang dunia bisnis baik melalui dunia maya maupun pendidikan formal dan non-formal.  Mereka mau belajar dari kegagalan dan kesuksesan para pengusaha yang telah malang melintang.  Business plan merupakan hal pertama yang paling mereka perhatikan.  Kecerdasan dan kreatifitas merupakan dua kata kunci kesuksesan holistik mereka.  Satu lagi, biasanya mereka sangat ambisius, ingin menjadi nomor satu di bidang yang mereka jalani.  Karena mereka tahu ilmunya.

Tipe pengusaha yang manakah yang anda pilih?  Ada benang merah yang menghubungkan keempat tipe pengusaha tersebut di atas yang penulis sebut dengan istilah Marketpreneur.  Untuk sukses menjadi seorang entrepreneur tidak cukup mengandalkan warisan, kebetulan dan bakat saja.  Apalagi cuman modal dengkul dan modal nekat, nanti salah-salah malah bangkrut.  Perlu kecerdasan marketing untuk mengarahkan jiwa entrepreneur agar mencapai kesuksesan yang sesungguhnya (baca: sustainable).  Perpaduan antara kekuatan jiwa entrepreneurial yang kuat dengan pengetahuan marketing yang mumpuni akan menciptakan sinergi kesuksesan yang dahsyat.

Tertarik menjadi seorang Marketpreneur??

Monday, August 12, 2013

USTAD-PRENEUR: antara dakwah, profesi dan infotainment

Ada berita yang bikin heboh, seorang Ustad kondang mematok tarif 'selangit' ketika akan melakukan kegiatan 'dakwah' sampai akhirnya membatalkan acara dakwahnya secara sepihak gara-gara tidak terjadi kesepaktan dengan pihak EO.  Sang Ustad pun mulai sibuk memberikan klarifikasi sana sini karena khawatir akan ''citra' kurang sedap akibat pemberitaan yang heboh tersebut.

 Beberapa minggu sebelumnya juga ada berita yang tidak kalah hebohnya, seorang (lagi-lagi) Ustad ditegur oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) gara-gara aktivitasnya mengumpulkan dana masyarakat secara luas dengan 'iming-iming' keuntungan yang 'menggiurkan' dengan (tentu saja) kemasan yang kental religi. Dan masyarakatpun sudah terlanjur berbondong-bondong 'saweran' ke rekening sang Ustad.  Sang Ustad pun mulai disibukan dengan berbagai urusan legal dan bisnis demi memuluskan ambisinya untuk mewujudkan ekonomi umat.

Dulu kita kenal dengan Dai Sejuta Umat (Alm. KH. Zainuddin MZ).  Label 'Sejuta Umat' begitu kuat karena popularitasnya yang massive dari semua kalangan audience kelas bawah hingga kelas atas.  Ceramah-ceramahnya yang menggebu-gebu dengan pilihan kata dan gaya retorika yang sangat khas ditambah dengan pilihan tema yang selalu up-to-date begitu menyihir jutaan penggemarnya. Kekuatannya dan daya magisnya begitu orisinil tanpa dibantu hingar-bingar infotainment (karena waktu itu belum ada acara infotainment).  Sempurnalah 'positioning' sang Dai Sejuta Umat dengan diferensiasinya yang memang unique, strong dan favourable. 

Rupanya para Ustad Nge-Pop era infotainment perlu banyak belajar dari sang Dai yang telah mempraktekan strategic triangle; Positioning, Differentiation and Brand (PDB) dengan solid.  Bahwa Nge-Top saja sangat amat tidak cukup untuk dapat merebut hati pasar secara berkesinambungan (baca: loyal).  Nge-Top karena doping infotainment sangatlah rentan karena tidak punya pondasi PDB yang solid.  Tidak punya visi yang mencerahkan.  Tidak didukung oleh integritas yang mumpuni.

Mungkin mereka tidak sadar bahwa infotainment merupakan salah satu alat bantu publicity.  Biasanya publicity digunakan untuk melakukan peluncuran 'brand' baru dari sebuah produk dengan mengekspos berbagai keunikan produk baru tersebut.  Bukan sekedar untuk numpang 'beken' dengan mengobral semua aspek kehidupan mereka sedetil-detilnya yang sama sekali tidak menciptakan PDB yang solid di mata audience. 

Aroma aji mumpung sangat terasa dari kedua-belah pihak, baik dari industri televisi dengan sang Ustad yang berangkat dari dunia yang lebih transenden.  Kolaborasi antara keduanya kini telah menciptakan segitiga strategis baru: Dakwah, Profesi dan Infotainment (DPI).  Namun sayang sinergi segitiga baru tersebut sama sekali tidak punya akar yang kuat di tingkat pasar (target audience).  Segitiga DPI secara pragmatis merupakan hubungan simbiosis mutualisma di antara keduanya, tapi tidak dengan audience. Tidak dalam jangka panjang. Hanya membidik euforia pasar ditingkat permukaan (surface-share) tapi tidak sampai ke dalam (heart-share dan mind-share).

Memang, ujung-ujungnya semua merupakan trik marketing dari semua pihak.  Tapi mereka tidak sadar bahwa mereka hanya sedang melakukan temporary marketing alih-alih sustainable marketing.  Rasanya kita masih sangat ingat ada seorang Ustad kondang yang pernah begitu Berjaya di masa nya tapi kini harus memulai dari nol lagi gara-gara ditinggalkan para penggemarnya.  Masalahnya cukup sepele, poligami, yang merupakan aspek non-teknis dalam profesi pendakwah.  Sebuah issue yang masih belum bisa sepenuhnya diterima oleh masyarakat yang religious.  Sebuah unforced error yang tidak perlu terjadi.  Dan infotaiment ada di balik itu semua.