Monday, August 12, 2013

USTAD-PRENEUR: antara dakwah, profesi dan infotainment

Ada berita yang bikin heboh, seorang Ustad kondang mematok tarif 'selangit' ketika akan melakukan kegiatan 'dakwah' sampai akhirnya membatalkan acara dakwahnya secara sepihak gara-gara tidak terjadi kesepaktan dengan pihak EO.  Sang Ustad pun mulai sibuk memberikan klarifikasi sana sini karena khawatir akan ''citra' kurang sedap akibat pemberitaan yang heboh tersebut.

 Beberapa minggu sebelumnya juga ada berita yang tidak kalah hebohnya, seorang (lagi-lagi) Ustad ditegur oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) gara-gara aktivitasnya mengumpulkan dana masyarakat secara luas dengan 'iming-iming' keuntungan yang 'menggiurkan' dengan (tentu saja) kemasan yang kental religi. Dan masyarakatpun sudah terlanjur berbondong-bondong 'saweran' ke rekening sang Ustad.  Sang Ustad pun mulai disibukan dengan berbagai urusan legal dan bisnis demi memuluskan ambisinya untuk mewujudkan ekonomi umat.

Dulu kita kenal dengan Dai Sejuta Umat (Alm. KH. Zainuddin MZ).  Label 'Sejuta Umat' begitu kuat karena popularitasnya yang massive dari semua kalangan audience kelas bawah hingga kelas atas.  Ceramah-ceramahnya yang menggebu-gebu dengan pilihan kata dan gaya retorika yang sangat khas ditambah dengan pilihan tema yang selalu up-to-date begitu menyihir jutaan penggemarnya. Kekuatannya dan daya magisnya begitu orisinil tanpa dibantu hingar-bingar infotainment (karena waktu itu belum ada acara infotainment).  Sempurnalah 'positioning' sang Dai Sejuta Umat dengan diferensiasinya yang memang unique, strong dan favourable. 

Rupanya para Ustad Nge-Pop era infotainment perlu banyak belajar dari sang Dai yang telah mempraktekan strategic triangle; Positioning, Differentiation and Brand (PDB) dengan solid.  Bahwa Nge-Top saja sangat amat tidak cukup untuk dapat merebut hati pasar secara berkesinambungan (baca: loyal).  Nge-Top karena doping infotainment sangatlah rentan karena tidak punya pondasi PDB yang solid.  Tidak punya visi yang mencerahkan.  Tidak didukung oleh integritas yang mumpuni.

Mungkin mereka tidak sadar bahwa infotainment merupakan salah satu alat bantu publicity.  Biasanya publicity digunakan untuk melakukan peluncuran 'brand' baru dari sebuah produk dengan mengekspos berbagai keunikan produk baru tersebut.  Bukan sekedar untuk numpang 'beken' dengan mengobral semua aspek kehidupan mereka sedetil-detilnya yang sama sekali tidak menciptakan PDB yang solid di mata audience. 

Aroma aji mumpung sangat terasa dari kedua-belah pihak, baik dari industri televisi dengan sang Ustad yang berangkat dari dunia yang lebih transenden.  Kolaborasi antara keduanya kini telah menciptakan segitiga strategis baru: Dakwah, Profesi dan Infotainment (DPI).  Namun sayang sinergi segitiga baru tersebut sama sekali tidak punya akar yang kuat di tingkat pasar (target audience).  Segitiga DPI secara pragmatis merupakan hubungan simbiosis mutualisma di antara keduanya, tapi tidak dengan audience. Tidak dalam jangka panjang. Hanya membidik euforia pasar ditingkat permukaan (surface-share) tapi tidak sampai ke dalam (heart-share dan mind-share).

Memang, ujung-ujungnya semua merupakan trik marketing dari semua pihak.  Tapi mereka tidak sadar bahwa mereka hanya sedang melakukan temporary marketing alih-alih sustainable marketing.  Rasanya kita masih sangat ingat ada seorang Ustad kondang yang pernah begitu Berjaya di masa nya tapi kini harus memulai dari nol lagi gara-gara ditinggalkan para penggemarnya.  Masalahnya cukup sepele, poligami, yang merupakan aspek non-teknis dalam profesi pendakwah.  Sebuah issue yang masih belum bisa sepenuhnya diterima oleh masyarakat yang religious.  Sebuah unforced error yang tidak perlu terjadi.  Dan infotaiment ada di balik itu semua.


No comments:

Post a Comment